Selasa, 06 Maret 2012

POLITIK KIYAI: antara prinsip dakwah dan tumbal politik


Ditulis Oleh
M. SUPRIYADI
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dengan Konsentrasi Politik dan Agama)

Di era Reformasi ini perdebatan tulisan maupun lisan mengenai Kiyai dan politik menjadi tak ada akhirnya. Dua komponen kata “Kiyai” dan “Politik” sangat trend diperdebatkan karena ada hubungan yang sangat penting antara fungsi dan status.

Setelah tumbangnya Orde Baru pada tahun 1998, banyak bermunculan aktor politik yang tidak diduga. Baik dari dunia aktifis yang menjadi aktor tunggal penumbangan Orde Baru atau dari Kaum Sarungan. Kiyai[1] dan politik seharusnya tidak barang baru. Pergulatan Kiyai dengan politik sudah berjalan saat perlawan Indonesia dengan negera-negara penjajah.

Tidak sedikit Kiyai yang menjadi ujung tumbak perlawan dan perebutan bangsa Indonesia dari tangan penjajah. Misalnya; perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825 yang bermarkas di Jawa Tengah di bawah komando Pangeran Diponegoro. Perang Jawa mengalamai masa keemasan pada tahun 1825-1826 dengan kemenangan menundukan kolonial Belanda.

Merasa terdesak dengan serangan pasukan Jawa, Belanda pada tanggal 14 Agustus 1825 di bawah komando perang kolonial Belanda, mengirim surat yang pertama kepada Pangeran Diponegoro untuk memperhentikan peperangan dan memilih jalan perundingan. Dinilai tidak ada tanggapan dari Pangeran Diponegoro, Komandan ekspansi Militer Kolonial Belanda pada  tanggal 17 Agustus 1825 mengirim sepucuk surat perdamaian yang kedua.

Dibalik masa keemasan perang Jawa terhadapa kolonial Belanda pada tahun 1827, Belanda berhasil membekuk balik pasukan Jawa di bawah Komando perang Pangeran Diponegoro. Tapi dengan rasa cinta tanah air yang sudah mengalir pada nadi kehidupan serta tekat para kiyai merebut kemenangan akhirnya perang Jawa dengan kolonial Belanda dimenangkan “pasukan sarungan” di bawah Komado Pangeran Diponegoro dan Kiyai Mojo.

Kalau kita menyempatkan sedikit waktu untuk merenung perjuangan “Kaum Sarungan” pada penaklukan penjajah pasti kita bisa menyimpulkan bahwa “Kiyai” dan “politik” bukan hal baru. Hal ini tidak bisa berbuah manis apabila jauh dari pergulatan politik Kiyai.

Tapi semua itu hanya cacatan sejarah yang semakin lama semakin dilupakan. Bahkan prinsip ideologi politik Kiyai yang semata-mata hanya mengabdikan diri pada NKRI hanya sebuah coretan buku sejarah.

Setelah tumbangnya Orde Baru menuju Orde Reformasi, politik Kiyai hanya sebuah politik “tumbal” dalil demokrasi. Politik kiyai hanya sebuah pelarian perekonomian yang semakin menghimpit kehidupan pesantren. Bahkan tidak sedikit Kiyai menjual dalil-dalil agama di panggung politik hanya sebuah janji yang tak tahu benar tidaknya.

Semua itu berimbas pada kebingunan ummat, ke mana dan siapa yang masih eksis menjadi panutan kehidupan. Karema mindset masyarakat madani politik hanyalah perbuatan kotor, penuh dengan korupsi dan saling makan antara teman.

Di sisi lain masyarakat memandang bahwa Kiyai, merupakan insan yang mendapat amanah dari Rasul “al ulama warasatul an-biya’” tapi di lain sisi Kiyai berkecimpung di dunia politik yang penuh dengan persilatan rupiah dan konflik.

Kalau kita kembali kepada perenungan sejarah pergerakan politik Kiyai, seharus Kiyai beralih dari politik praktis ke politik pengawasan. Pengawasan dalam hal kebijakan dan kelangsungan politik yang terjadi di bangsa ini. Karena status lain Kiyai sebagai “Broken Culture” makelar budaya. Tugas utama seorang kiyai adalah menyampaikan budaya baik yang di bawa Nabi Muhammmad SAW.

Dengan tulisan yang tidak jelas arah pemikirannya ini semoga politik Kiyai menjadi jelas maksut dan arahnya tanpa mengorbankan ummat sebagai kepentingan politik dan Kiyai sendiri sebagai umpan “tumbal politik”.


[1] Dalam lain teks sering menggunakan istilah “Kaum Sarungan”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar