M. SUPRIYADI
(Mahasiswa Pascasarjana UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dengan Konsentrasi Politik dan Agama)
Di era Reformasi ini
perdebatan tulisan maupun lisan mengenai Kiyai dan politik menjadi tak ada
akhirnya. Dua komponen kata “Kiyai” dan “Politik” sangat trend diperdebatkan
karena ada hubungan yang sangat penting antara fungsi dan status.
Setelah tumbangnya Orde
Baru pada tahun 1998, banyak bermunculan aktor politik yang tidak diduga. Baik
dari dunia aktifis yang menjadi aktor tunggal penumbangan Orde Baru atau dari Kaum
Sarungan. Kiyai[1]
dan politik seharusnya tidak barang baru. Pergulatan Kiyai dengan politik sudah
berjalan saat perlawan Indonesia dengan negera-negara penjajah.
Tidak sedikit Kiyai yang
menjadi ujung tumbak perlawan dan perebutan bangsa Indonesia dari tangan
penjajah. Misalnya; perang Jawa yang terjadi pada tahun 1825 yang bermarkas di
Jawa Tengah di bawah komando Pangeran Diponegoro. Perang Jawa mengalamai masa
keemasan pada tahun 1825-1826 dengan kemenangan menundukan kolonial Belanda.
Merasa terdesak dengan
serangan pasukan Jawa, Belanda pada tanggal 14 Agustus 1825 di bawah komando
perang kolonial Belanda, mengirim surat yang pertama kepada Pangeran Diponegoro
untuk memperhentikan peperangan dan memilih jalan perundingan. Dinilai tidak
ada tanggapan dari Pangeran Diponegoro, Komandan ekspansi Militer Kolonial
Belanda pada tanggal 17 Agustus 1825
mengirim sepucuk surat perdamaian yang kedua.
Dibalik masa keemasan perang
Jawa terhadapa kolonial Belanda pada tahun 1827, Belanda berhasil membekuk
balik pasukan Jawa di bawah Komando perang Pangeran Diponegoro. Tapi dengan
rasa cinta tanah air yang sudah mengalir pada nadi kehidupan serta tekat para
kiyai merebut kemenangan akhirnya perang Jawa dengan kolonial Belanda
dimenangkan “pasukan sarungan” di bawah Komado Pangeran Diponegoro dan Kiyai
Mojo.
Kalau kita menyempatkan
sedikit waktu untuk merenung perjuangan “Kaum Sarungan” pada penaklukan
penjajah pasti kita bisa menyimpulkan bahwa “Kiyai” dan “politik” bukan hal
baru. Hal ini tidak bisa berbuah manis apabila jauh dari pergulatan politik
Kiyai.
Tapi semua itu hanya
cacatan sejarah yang semakin lama semakin dilupakan. Bahkan prinsip ideologi
politik Kiyai yang semata-mata hanya mengabdikan diri pada NKRI hanya sebuah
coretan buku sejarah.
Setelah tumbangnya Orde
Baru menuju Orde Reformasi, politik Kiyai hanya sebuah politik “tumbal”
dalil demokrasi. Politik kiyai hanya sebuah pelarian perekonomian yang semakin
menghimpit kehidupan pesantren. Bahkan tidak sedikit Kiyai menjual dalil-dalil
agama di panggung politik hanya sebuah janji yang tak tahu benar tidaknya.
Semua itu berimbas pada
kebingunan ummat, ke mana dan siapa yang masih eksis menjadi panutan kehidupan.
Karema mindset masyarakat madani politik hanyalah perbuatan
kotor, penuh dengan korupsi dan saling makan antara teman.
Di sisi lain masyarakat
memandang bahwa Kiyai, merupakan insan yang mendapat amanah dari Rasul “al
ulama warasatul an-biya’” tapi di lain sisi Kiyai berkecimpung di dunia
politik yang penuh dengan persilatan rupiah dan konflik.
Kalau kita kembali kepada
perenungan sejarah pergerakan politik Kiyai, seharus Kiyai beralih dari politik
praktis ke politik pengawasan. Pengawasan dalam hal kebijakan dan kelangsungan
politik yang terjadi di bangsa ini. Karena status lain Kiyai sebagai “Broken
Culture” makelar budaya. Tugas utama seorang kiyai adalah menyampaikan
budaya baik yang di bawa Nabi Muhammmad SAW.
Dengan tulisan yang tidak
jelas arah pemikirannya ini semoga politik Kiyai menjadi jelas maksut dan
arahnya tanpa mengorbankan ummat sebagai kepentingan politik dan Kiyai sendiri
sebagai umpan “tumbal politik”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar