Senin, 05 Desember 2011

Peran Politik Kiai Terhadap Pemenangan Pemilukada (Study Kasus Pilkada Kabupaten Tuban 2011)


Reformaasi politik telah berhasil menggulingkan kontruksi politik rezim lama yang monolitik otoriter dan militeristik sekaligus membentangkan jalan bagi berlangsungnya demokratisasi dan transformasi sosial. Proses itu juga sering disebut sebagai transisi demokrasi. Titik tolaknya adalah peristiwa pemakzulan Presiden Soeharto dari pucuk kekuasaan pada bulan Mei 1998.
Reformasi merupakan bagian dari transisi demokrasi yang mencakup liberalisasi politik dan demokratisasi. Dalam tahap ini terjadi perubahan rezim serta meluasnya hak-hak politik rakyat. Muncul pula ledakan partisipasi politik yang ditandai dengan dilaksanakannya pemilu demokratis dan pergantian pemerintahan sebagai konsekuensi dari pemilu. Guilermo O’Donnel dan Philippe C. Schmitter[1] juga menambahkan, transisi demokrasi sering membuahkan situasi ketidakpastian. Dalam banyak kasus, situasi itu dapat menjadi peluang bagi munculnya kekuatan status quo maupun gerakan-gerakan arus balik demokratisasi.
Di negeri ini, transisi demokrasi telah menciptakan perubahan besar dalam bandul kekuasaan. Kekuasaan tidak lagi “digenggam” secara absolut oleh militer namun telah beralih ke tangan para politisi sipil. Perubahan itu membawa implikasi yang sangat berarti bagi institusi kepartaian. Perubahan dalam lembaga-lembaga kenegaraan sebagaimana tertuang dalam amandemen UUD 45, menempatkan partai sebagai institusi penting dan memiliki peran strategis dalam struktur politik di Indonesia. Selain itu perubahan ini menjadi titik kritis yang memiliki pengaruh besar terhadap masa depan partai politik dan demokratisasi. Kegagalan mengawal demokratisasi akan berakibat buruk bagi partai politik.
Transisi demokrasi yang gagal setidaknya membuahkan tiga hal[2]: Pertama, kembalinya kekuatan lama dalam panggung kekuasaan. Proses itu dapat berlangsung secara sistematis melalui jalan demokrasi maupun menggunakan kekerasan seperti kudeta militer. Jalan demokrasi akan ditempuh pada saat demokratisasi itu tidak dikawal secara tuntas oleh kelompok pembaharu sehingga memberikan kesempatan bagi kekuatan lama untuk melakukan konsolidasi, mutasi politik, political laundry.
Hiruk pikuk politik yang melibatkan kiai sebagai salah satu aktornya telah banyak menyita perhatian para pengamat politik. Hal ini terjadi, karena cara berpolitik “kaum sarungan” itu terkesan memiliki aura politik yang sangat unik. Seringkali political performance kiai tampil garang, toleran, lugu, dan sering pula penurut.
Berbagai prediksi politis dan komentar tentang kausalitas dan ending pertunjukan politik kiai sering pula terjadi di luar nalar dan kaidah ilmu politik. Ini terjadi karena dalam memahami sikap politik kiai tidak bisa dilepaskan dari kultur, nalar syari’ah, dan sufisme kiai. Tiga ranah ini, selalu di luar nalar dan kaidah ilmu politik yang menjadi dasar para pengamat politik dalam memahami peristiwa-peristiwa politik.
Dari sekian lama perjalanan sejarah pentas politik kiai, terjadi pergeseran dan perubahan arah, terutama pergeseran dari politik kebangsaan ke politik kekuasaan. Politik kebangsaan yang pernah dimainkan atau disebut tiga ranah fiqh politik adalah, yaitu ketika (1) Gerakan politik  yang dicetuskan melalui resolusi jihad, (2) Menuntut pembubaran PKI, dan (3) Penerimaan asas Pancasila.[3]
Dinamika dan proses politik yang terjadi di Indonesia saat ini, terutama menjelang ajang Pilkada, Pileg, Pilgub sampai dengan Pilpres mengalami perubahan yang amat drastis. Aktor politik yang biasanya dilakukan oleh kalangan umum dan profesional sekarang ini mengalami pergeseran, terutama dengan adanya aktor lain dari dunia. Aktor lain itu adalah kiai sosok yang selama ini dikenal hidup di tengah-tengah santri dan masyarakat.
Kiai yang pada awalnya bergerak di jalur kultural, yang dalam bahasa Clifford Geertz (1981) disebut cultural broker (makelar budaya)[4], di tengah arus proses politik yang terjadi sekarang ini seakan menjadi aktor pemberi legitimasi politik. Garis perjuangan kiai mulai bergeser seiring dengan perubahan politik di tanah air. Kiai pun mulai merambah wilayah politik partisan dengan segala manuver politik dukung- mendukung (legitimasi) yang seringkali dinamai dengan istilah memberi restu atau silaturrahim.
Proses ini karena adanya simbiosis mutualisme untuk interest tertentu demi mendapatkan bagian dari kekuasaan atau minimal mendapatkan bantuan dari elit politik yang didukung untuk lembaga baik formal maupun non formal yang dipimpin. Sementara elit politik akan mendapatkan legitimasi moral keagamaan dari kiai sebagai bahan kampanye. Dalam politik praktis, kiai memberikan legitimasi pada elit politik dengan memakai agama, karena agama adalah energi dahsyat yang mampu menyublimasikan dan mensakralkan dunia profan.
Peter L. Berger (1991), agama adalah langit suci (the sacred canopy)[5] yang dapat dijadikan instrumen memperkokoh politik dari seluruh tindakan manusia. Kiai tidak saja merupakan pimpinan pesantren tetapi juga memiliki power di tengah-tengah masyarakat, bahkan memiliki prestis di kalangan masyarakat (Geertz, 1981).
Meminjam analisis Max Weber (1968), kepemimpinan tokoh agama sesungguhnya adalah kepemimpinan kharismatik yang berporos pada personal leadership. Dalam konteks ini ulama adalah patron bagi umatnya (client) dalam sebuah relasi yang paternalistik. Kompetensi Kiai dalam bidang agama menempatkannya sebagai pemegang otoritas suci agama. Fatwa dan nasehat Kiai senantiasa dijadikan sebagai preferensi sosial-politik yang dipatuhi umatnya. Dengan otoritas kuasa dan moral yang dimilikinya, kiai mampu menggerakkan  masyarakat dalam menentukan pilihan politik, tak heran dalam setiap ajang pesta demokrasi, kiai selalu dimanfaatkan untuk menjadi leader vote getter.
Hampir semua kiai digolongkan sebagai "penjaga umat" sekaligus basis kekuatan moral. Namun kini, tampilnya kiai dalam pentas politik untuk dukung mendukung sudah bukan barang asing lagi. Peran para kiai dalam pesta demokrasi sudah secara ‘berjamaah'  berduyun duyun memberikan dukungan politiknya kepada calon-calon pemimpin sesuai panatik dan kong kalikong masing-masing.
Gejala perilaku kiai berpolitik ini sebenarnya lebih bersumber pada ketinggalan dalam mengakses jalur ekonomi yang membuat banyak kiai mengalami kesulitan menutup biaya operasional pesantren yang harus meningkat. Hal ini diperparah dengan sikap apatis pemerintah setempat terhadap kesulitan yang dihadapi pesantren. Tak heran, para kiai kemudian menghadapi dilemma membiarkan pesantren merana atau mencari sumber dana baru.
Di titik inilah persinggungan elit politik, agama dan kiai seringkali terjadi. Situasi demikian sebenarnya bisa menghilangkan kesakralan kiai. Jika kiai yang ikut dalam arus politik dukung mendukung dikhawatirkan akan terjebak pada logika kekuasaan politik (the logic of politics power) dengan memanipulasi umat dan masyarakat demi kepentingan politik sesaat, yang pada gilirannya menggiring kiai sebagai agen yang cenderung kooptatif, hegemonik, dan korupsi.
Akibatnya, nilai moral yang mengedepankan ketulusan pengabdian akan tereduksi atau bahkan hilang sama sekali, terkalahkan oleh logika kekuasaan politik. Secara kewibawaan, kiai yang terlibat langsung dalam politik partisan jelas akan merugi. Sebab, kiai bisa dianggap "belepotan lumpur" politik. Petuahnya tidak lagi diikuti masyarakat. Sebagai panutan, jelas akan semakin kehilangan jamaah hanya karena  kepentingan pragmatis semata.
Sementara politik bersifat profan yang meniscayakan adanya kepamrihan, tendensius, dan akibatnya mempersempit visi-misi dakwah serta advokasi kiai hanya pada kelompok tertentu, yaitu massa pendukungnya. Dengan aktif berpolitik, pesantren, santri, dan masyarakat kian terbengkalai lantaran para kiainya telah hijrah ke alam politik praktis dan terlena dalam buaian elite politik demi gold, gospel, and glory. Seharusnya, legitimasi kiai bukan diperoleh lewat jalur kekuasaan, politik dukung-mendukung elit politik namun dari sikap dan tindakan moralnya, di samping otoritas keagamaan yang dimilikinya. Sehingga terjun ke politik partisan bukan semakin meneguhkan pamor dan karisma kiai, tetapi sebaliknya, justru kiai yang dihegemoni oleh para politisi.
Pada gilirannya, simbol kiai yang sakral dan sangat dihormati oleh umat menjadi hilang begitu saja karena terlibat dalam permainan politik. Moral Politik kiai sebenarnya punya beberapa peran, yakni sebagai pemuka agama, konsultan sosial, dan politik. Sebagai pemuka agama kiai bertindak sebagai pemimpin ibadah (shalat, doa, zakat, puasa), dan pemberi fatwa keagamaan. Sebagai konsultan sosial, ia dijadikan tempat bertanya pengikutnya untuk meminta nasihat, minta penyembuhan, dan sebagai orang yang dituakan. Dalam politik, ia akan memainkan peran moral yang terkait dengan kepentingan umum ke berbagai saluran politik, baik langsung maupun tidak langsung.
Inilah seharusnya peran politik kiai untuk dijadikan landasan dalam kerangka menjadi "penjaga umat" dan agent of change dari setting sosial, budaya dan politik yang tidak sesuai dengan kultur dan moralitas keagamaan. Nantinya politik kiai bukan berorientasi pada kekuasaanan, tapi politik moral. Keterlibatan kiai dalam politik bukan berarti terjun dan turut terlibat langsung dukung-mendukung Capres dan laga pesta demokrasi lainnya. kiai tetap boleh berpolitik, tetapi tidak diorientasikan pada kekuasaan, melainkan menanamkan nilai-nilai moral untuk penguatan umat dan masyarakat.
Sebagai pewaris nabi dan orang yang tertanam akarnya di masyarakat, para kiai dengan semestinya memainkan diri sebagai figur moral, anutan publik, menjadi suri tauladan  serta sebagai kekuatan cultural yang selalu mengingatkan para pemimpin, sekaligus menegaskan perannya untuk secara etis-profetik mengawal kepentingan umat dalam kehidupan seharihari. Dengan fungsi-fungsi seperti itu, maka peran kiai sebagai soko bumi kehidupan masyarakat.
Kehidupan agraris masyarakat Tuban terbingkai dalam tipologi alam yang bermacam-macam. Luas wilayah Kabupaten Tuban 183.994.561 Ha, dan wilayah laut seluas 22.068 km2. Letak astronomi Kabupaten Tuban pada koordinat 111o 30' - 112o 35 BT dan 6o 40' - 7o 18' LS. Panjang wilayah pantai 65 km. Ketinggian daratan di Kabupaten Tuban bekisar antara 0 - 500 mdpl. Sebagian besar wilayah Kabupaten Tuban beriklim kering dengan kondisi bervariasi dari agak kering sampai sangat kering yang berada di 19 kecamatan, sedangkan yang beriklim agak basah berada pada 1 kecamatan.
Kabupaten Tuban berada pada jalur pantura dan pada deretan pegunungan Kapur Utara. Pegunungan Kapur Utara di Tuban terbentang dari Kecamatan Jatirogo sampai Kecamatan Widang, dan dari Kecamatan Merakurak sampai Kecamatan Soko. Sedangkan wilayah laut, terbentang antara 5 Kecamatan, yakni Kecamatan Bancar, Kecamatan Tambakboyo, Kecamatan Jenu, Kecamatan Tuban dan Kecamatan Palang. Kabupaten Tuban berada pada ujung Utara dan bagian Barat Jawa Timur yang berada langsung di Perbatasan Jawa Timur dan Jawa Tengah atau antara Kabupaten Tuban dan Kabupaten Rembang.Tuban memiliki titik terendah, yakni 0 m dpl yang berada di Jalur Pantura dan titik tertinggi 500 m yang berada di Kecamatan Grabagan. Tuban juga dilalui oleh Sungai Bengawan Solo yang mengalir dari Solo menuju Gresik.[6]
Tradisi ritual masyarakat Tuban berpedoman kepada para pemimpin agama yang lazim disebut Kiai Kampung atau Kiai Langgar. Para “kiai kecil” ini merupakan representasi Kiai Gedhe (Kyai besar) pesantren-pesantren besar. Di Tuban, sudah menjadi kemestian setiap pesantren besar memiliki sejumlah alumni yang berperan sebagai guru ngaji di langgar tradisional. Lazimnya mereka disebut ustadz atau meski banyak pula yang disebut kiai. Kiai langgar merupakan corong dan medium informatif para kyai besar. Setiap kebijakan agama dan juga politik disampaikan oleh para kiai besar kepada kiai langgar agar disampaikan kepada masyarakat bawah. Terkadang, untuk memperkuat daya tarik massa terhadap himbauan kiai besar, para kiai langgar mengundang kiai besar untuk menyampaikan secara langsung pilihan politik kiai besar.
Pada tanggal 1 Maret 2011 Kabupaten Tuban menyelenggarakan gawe politik untuk menentukan pemangku Tuban lima tahun kedepan. Setelah satu-persatu Cabup-Cawabup mencabut nomor urut, hasilnya untuk nomor urut 1 pasangan Cabup-Cawabup dari jalur independent, yakni Chamin Amir-Ashadi (Matoh). Nomor 2 pasangan Kristiawan -Haeny Relawati WD, Msi (Tani) dan nomor urut tiga adalah pasangan Mohammad Anwar- Tulus Setyo Utomo (Mulyo), nomor urut 4 jatuh pada pasangan Fatchul Huda–Noor Nahar Husain (Hudanoor), untuk nomor urut 5 pasangan Setiajit–Bambang Hunter (Sehat) dan nomor urut (6) pasangan Dr Bambang Lukmantono- dr. Toyyibi (Bangkit) dari jalur Independen.
Diantara beberapa calon pasangan Cagub-Cawagub, Fatchul Huda dan Noor Nahar Husain (Hudanoor) yang dinobatkan pasangan calon bupati yang mendapat suwuk para kiai di Tuban. Beground organisasinya Fathul Huda manta Ketua NU Kabupaten Tuban yang sekarang menjabat Ketua Cabang Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) dengan wakilnya Noor Nahar Husain Ketua NU Kabupaten Tuban periode sekarang. Oleh karena itu pastinya dukungan politik kiai sangat berpihak.
Tokoh-tokoh kiai besar antara lain; KH. Abdul Faqih (PP. Langitan Tuban), KH. Muhammad Muhyidin (Senori) dari daerah luar Kabupaten Tuban KH. Ali Masyhuri atau Gus Ali dari Tulangan, Sidoarjo dan KH Abdul Gofur selaku pengasuh Pondok Pesantren Sunan Drajat, Lamongan dan masih banyak nama-nama kiai yang secara lantang menyuarakan dukungan politiknya kepada Hudanoor. Dukungan dari organisasi sayap NU juga bertubi-tubi meneriakkan dukungannya; Muslimat Kabupaten Tuban, Fatayat Kabupaten Tuban, IPNU-IPPNU Kabupaten Tuban, Serikat Santri Kabupaten Tuban dan masih banyak lainnya. Yang akhirnya pasangan Fatchul Huda dan Noor Nahar Husain (Hudanoor) memenangkan Pemilukada Kabupaten Tuban pada 1 Maret 2011 dengan kemenangan mutlak.
Pilkada tahun ini menunjukkan fenomena terpecahnya dukungan pesantren-pesantren besar di Kabupaten Tuban terhadap calon-calon bupati yang berlainan. Wajar, karena salah satu Cabup-Cawabup Tuban merupakan tokoh-tokoh agama yang dekat dengan pesantren atau NU. Sudah pasti para kiai ini juga memanfaatkan jaringan alumninya yang tersebar di seluruh Kabupaten Tuban untuk memaksimalkan dukungan bagi mereka. Efeknya, kiai langgarpun menjadi salah satu mesin politik selain lurah (kepala desa), botoh  (jagoan) dan parpol tingkat ranting.
Jaringan transformatif  kiai langgar disatu sisi memang capable mengerim laju apresiasi keberagamaan yang menyimpang dari harmoni yang digariskan. Namun, disisi lain, hal ini memunculkan dilema ketika hadir problem politik yang sangat urgen seperti fenomena dukung-mendukung Cabup-Cawabup Kabupaten Tuban 2011 oleh para kiai besar. Bukan tidak mungkin jika disharmonisasi yang terjadi pada tataran elit merambah ke masyarakat bawah manakala para kiai langgar ikut berkompetisi mencari dukungan jagonya. Bukan tidak mungkin, poros kiai langgar yang berperan sebagai penyejuk ruang keberagamaan masyarakat kampung bakal tereduksi karena politik. Apalagi dalam tipologi agraria Kabupaten Tuban, dalam satu desa biasanya terdapat beberapa taneyan lanjang dengan kiai langgarnya masing-masing. Masyarakat kampung akan lebih terbelah lagi secara horizontal jika antar kiai langgar berbeda pilihan politiknya.
Karena itulah diperlukan kemandirian politik kiai langgar dalam menata ruang politik masyarakat. Di tengah  keberagamaan Kabupaten Tuban yang sentralistik-hirarkis, kiai langgar memang jarang disebut karena tenggelam dalam kewibawaan kiai-kiai besar. Namun, bukan berarti kiai langgar tak punya peranan mayor. Justru kiai langgar adalah unit keberagamaan yang paling dekat dengan masyarakat bawah. Kearifan para kiai langgar dalam menata netralitas politik diperlukan agar posisinya sebagai penyeimbang diantara tiga kekuatan politik desa.
Jika para kiai besar terlibat aktif dalam dukung-mendukung dalam liga pesta demokrasi, alangkah arifnya jika kiai langgar tidak ikut melaju juga dalam hal yang sama. Absennya kiai langgar dalam proses politik jelas takkan mereduksi posisi kultural mereka di masyarakat karena kiai langgar justru merupakan entitas kultur yang terdekat dengan masyarakat bawah. Inilah yang dimaksud dengan desentralisasi politik para kiai yang tidak terpusat pada figur kiai besar saja. Kiai langgar harus menjadi counterpart masyarakat yang independen dan memiliki otoritas egaliter yang membimbing masyarakat langsung di tengah lingkungannya. Independensi bukan berarti perceraian tradisi dengan para kiai besar, namun fungsi kiai langgar harus dimassifkan dalam transformasi kebajikan yang tidak semata-mata komando dari pesantren induknya. Para kiai langgar harus berperan optimal mengelola problematika tiap warga yang berada dalam wilayah kerjanya agar tetap tercipta harmoni demokrasi yang baik pada masyarakat Tuban. Jika semua kiai dari atas sampai kebawah ikut total berpolitik, lalu siapa yang akan memerankan diri sebagai korektor dan pembimbing religiusitas.



[1] Proses transisi demokrasi dapat dibaca pada; Guilermo O’Donnel and Philippe C. Schmitter.
Transitions From Authoritarian Rule; Tentative Conclusions About Unacertain Democracies.
Baltimore; John Hopkins University Press, 1986.
[2] Ichwan Ar. Jalan Baru Pergerakan Kebangsaan, Buletin Praksis, Edisi 04, Mei 2006.
[3] Faisal Ismail menyebut politik kebangsaan ini sebagai “tiga momentum historis gerakan strategis NU,” lihat, NU Gusdurisme dan Politik Kyai, (Yogyakrata : Tiara Wacana, 1999), p.11-17.
[4] Clifford Geertz, Culture, Custom and Ethnics(England: Polity Press, 2000), h. 43
[5] Peter L. Berger, The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge (1966, dengan Thomas Luckmann) (bahasa Indonesia: Tafsir Sosial atas Kenyataan Risalah tentang Sosiologi Pengetahuan, LP3ES, Jakarta, 1990), h. 67.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Tuban

Tidak ada komentar:

Posting Komentar