Selasa, 06 Desember 2011

Gerakan Mahasiswa dan Kebebasan Pers

Dalam konsepsi demokrasi, keberadaan pers/media massa sering disebut sebagai pilar keempat setelah eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Meski berada di luar sistem politik formal, keberadaan pers memiliki posisi strategis dalam informasi massa, pendidikan kepada publik sekaligus menjadi alat kontrol sosial. Karenanya, kebebasan pers menjadi salah satu tolok ukur kualitas demokrasi di sebuah negara. Pasca reformasi, pers di Indonesia mengekspresikan diri seakan baru keluar dari penjara selama 30 tahun lebih. Pembungkaman pers selama orde baru membuat pers tidak berperan sebagaimana mestinya.

Lebih dari satu dekade reformasi bergulir, dan pers kian mengukuhkan dirinya sebagai pilar yang sangat kokoh dalam demokrasi. Pers dapat memberitakan segala sesuatu terkait kebijakan, program, isu hingga tingkah laku pemerintah dan para pejabat negeri ini. Pers saat ini benar-benar telah menjadi corong opini atau bahkan membangun propaganda tertentu terkait isu yang ada. Kebebasan ini tak pelak menjadikan pers sebagai sahabat maupun musuh bagi banyak orang, terutama mereka yang sering di sorot oleh pers.
Kini pers selalu terdepan dalam mengungkapkan fakta dan data tentang kondisi Indonesia, dan telah mengemas berita dalam berbagai variasi metode sehingga sangat menarik untuk di saksikan oleh seluruh lapis masyarakat. Pers dengan segala infrastruktur yang mereka miliki untuk menyiarkan pesan kepada masyarakat Indonesia juga telah membuat para politisi, birokrat, dan tokoh masyarakat berbondong-bondong untuk dapat berbicara di atas panggung yang telah disiapkan oleh pers. Mereka siap untuk menjawab berpuluh pertanyaan yang di sodorkan oleh pers dan berjuang untuk meyakinkan negeri ini bahwa gagasan yang mereka bawa adalah yang terbaik.
Pers pun telah berkembang menjadi industri yang melibatkan masyarakat, dan menjadikan masyarakat memiliki pers itu sendiri. Dengan berbagai bentuk partispasi publik, pers telah mengembangkan konsep pers publik dimana setiap individu dapat menyampaikan berita kepada masyarakat luas. Selain itu pers yang kini menjadi sebuah industri yang sangat berkembang, memanfaatkan seseorang atau kelompok tertentu yang ingin menyampaikan aspirasi dan kritik kepada pemerintah dengan menyediakan panggung untuk mereka menyampaikan apa yang mereka pikirkan kepada masyarakat luas.
Pers saat ini telah berperan sangat efektif sebagai guardian of democrary, watch dog untuk pemerintah, whistle blower , dan mesin propaganda di Indonesia. Pers menjadi primadona demokrasi yang selalu diperebutkan oleh siapapun yang ingin merih kekuasaan. Sebuah situasi yang sangat berbeda ketimbang apa yang terjadi di masa orde baru. Terus bertumbuhnya industri pers baru juga telah membuktikan bahwa pers telah berkembang menjadi bisnis yang sangat potensial di Indonesia. Karena mereka sangat memahami bahwa masyarakat membutuhkan berita.
Perkembangan pers ini telah berdampak pula dalam keberlangsungan sebuah isu tertentu. Pers dapat me-lebay­­-kan maupun mensunyikan sebuah isu tergantung dari keinginan dari pers. Satu contoh bahwa pers mampu mendesak kebijakan publik adalah ketika kasus Bibit-Chandara dimana pers berhasil meyakinkan publik bahwa KPK sedang dikerdilkan dan pemerintah dituntut untuk lebih tegas. Contoh lain adalah ketika pers tidak begitu mengangkat isu mengenai pembahasan RUU Migas dan alhasil membuat gerakan mahasiswa untuk mendorong pengawalan RUU Migas menjadi tidak mendapat sambutan di publik. Pers berhasil meyakinkan publik mengenai mana yang benar dan mana yang salah, serta mengiring opini publik untuk menjustifikasi seseorang dengan hanya mengandalkan informasi dari pers.
Gerakan mahasiswa pun juga terkena imbas dari kebebasan pers. Pasca kebebasan pers bergulir, mahasiswa seringkali ketinggalan momentum dan waktu untuk menyuarakan sebuah isu. Selalu saja pers yang pertama mengangkat sebuah isu. Selain itu, mahasiswa menjadi tidak bisa menandingi kualitas data dan fakta yang pers miliki. Pun mahasiswa telah mencoba menggali data dan fakta dari tokoh publik, tetapi tetap saja masyarakat lebih percaya dengan apa yang pers beritakan. Situasi ini juga tidak terlepas dari kurangnya kemampuan pers mahasiswa untuk merekayasa opini secara mandiri. Gerakan mahasiswa kini sangat bergantung dengan pers, dan juga telah menjadi kelompok yang berharap dapat mengisi panggung media yang telah disediakan oleh industri pers sebagai wadah untuk menyatakan aspirasi ke masyarakat luas.
Kebebasan pers yang terlalu bebas ini diperburuk dengan tidak adanya media pemerintah yang berpengaruh dan dapat digunakan sebagai corong propaganda. Televisi Republik Indonesia (TVRI) yang sejatinya adalah milik pemerintah, telah gagal menjadi mesin propaganda positif akan kebijakan pemerintah. Sedangkan industri pers tidak sepenuhnya bergerak dengan idealisme jurnalis, tetapi mereka juga bergerak sesuai dengan keinginan dari pemilik modal dari industri pers tersebut.
***
Lalu bagaimana peran gerakan mahasiswa ditengah hegemoni kebebasan pers ?
Gerakan mahasiswa dapat menjadi pilar kelima demokrasi bila gerakan mahasiswa mampu memberikan diferensiasi yang tegas antara peran gerakan mahasiswa dengan apa yang pers telah perankan. Mahasiswa dapat terus bergerak dengan gerakan politik nilai dimana mahasiswa bergerak berdasarka suara rakyat tanpa ada intervensi dari pihak manapun. Selain itu mahasiswa perlu kembali memperkuat pers mahasiswa agar dapat menjadi pers alternatif yang mampu memberi dan mengisi kekosongan fungsi kontrol dan pendidikan media. Serta membangun gerakan berbasi pengetahuan, dimana gerakan mahasiswa menyuarakan opini berdasarkan kajian yang cukup komprehensif dan disertai rekomendasi yang solutif. Dengan itu, mahasiswa akan memiliki perbedaan yang cukup mendasar dengan media.
Noble Objective
Ditengah arus kebebasan pers yang tidak bisa terlepas dari kepentingan pemilik modal dari industri media, mahasiswa dapat memainkan peran strategis dalam membangun opini yang berbasis nilai yang mulia (noble). Pers saat ini bisa saja mengangkat atau menjatuhkan kredibilitas seseorang hanya dalam waktu singkat. Sebagai sebuah contoh, seorang Surya Paloh dapat dengan leluasa diberikan panggung untuk pencitraan oleh salah satu media, dan memberikan kesan positif bagi dirinya. Sedangkan seorang Arifinto, anggota DPR dari partai Islam, begitu cepat di demarketisasi dalam hitungan hari karena skandal video porno yang mendesak dirinya untuk mundur dari DPR.
Noble Objective ini dibangun dengan berlandaskan politik nilai. Sebuah landasan gerak politik mahasiswa yang berpihak kepada nilai-nilai kebenaran dan berada pada sisi rakyat. Mahasiswa dengan mobilitas media yang bisa dikembangkan atau dengan tetap bergantung dengan media massa yang ada, dapat menunjukkan perbedaan semangat gerak dan membangun opini di depan masyarakat luas. Sederhananya, mahasiswa bukan membela atau menjatuhkan seseorang atau pihak tertentu. Tetapi, mahasiswa bergerak berdasarkan apa yang dikerjakan oleh seseorang dan kebijakan apa yang dikeluarkan oleh pihak tertentu. Ini bukan tentang “siapa”, tetapi tentang “apa”.
Opinion Leader
Menjadi pemimpin opini, baik secara informal maupun formal memberikan kesempatan kepada mahasiswa untuk menjadi rujukan publik dalam menyikapi isu yang ada. Menjadi pemimpin opini dapat dilakukan mahasiswa dengan memiliki data yang akurat serta cukup “menarik” untuk di jadikan rujukan. Mahasiswa dapat membangun komunikasi dengan kelompok oposisi atau LSM untuk mendapatkan data “dibalik layar” yang cenderung menarik untuk diberitakan. Media massa pun sangat menanti seseorang atau kelompok yang dapat dijadikan pemimpin opini. Ia atau mereka dapat dijadikan anchor  untuk pemberitaan yang dibuat oleh medias massa. Seorang pemimpin opini adalah seorang yang di nilai mewakilkan kelompok tertentu dan dapat dipertanggungjawabkan keabsahan opininya.
Lebih lanjut, jika kredibilitas seorang mahasiswa atau kelompok sudah dipercaya oleh media dan juga mendapatkan respon yang positif dari masyarakat. Seseorang yang berkompeten dari kelompok gerakan mahasiswa dapat berperan sebagai kritikus, pengamat atau pemberi rekomendasi yang nantinya kerap di minta tampil di media untuk menyampaikan pandangan, atau dihubungi oleh media ketika ada sebuah isu yang berkembang. Dengan memanfaatkan posisi inilah, gerakan mahasiswa dapat menunjukkan kedalaman kajian, kekuatan berdialektika, serta mengangkat isu yang diyakini berlandaskan kecintaan kepada rakyat.
Komunikator Opini
Anwar Arifin (2007), melakukan observasi partisipatif kepada masyarakat, menemukan bahwa kesediaan individu atau kelompok dalam menerima atau menolak suatu opini yang menyentuhnya sangat ditentukan juga oleh kredibilitas komunikator opini dan kelompoknya sebagai sumber informasi. Apabila khalayak menghargai dan mempercayai seorang komunikator opini , atau sebagai media yang terpercaya, maka khayalak akan sangat dengan mudah terpengaruh. Makin terpercaya seorang komunikator opini dan media itu, makin mudah khalayak individu dan khalayak massa meyakini pendapatnya, karena mereka yakin tidak dibohongi.
Meskipun demikian opini khalayak bisa saja berubah jika komunikator opini dan media massa memberikan informasi yang bertentangan dengan kepentingannya. Individu atau kelompok akan berusaha mencari informasi lain yang dapat menunjang sikap dan opininya dengan mencari kebenaran lain untuk mengurangi pertentangan opini yang terjadi pada dirinya.
Tantangan menjadi komunikator opini  adalah menjaga kredibilitas dan intergitas di depan masyarakat luas. Mahasiswa memiliki kesempatan untuk menjadi komunikator politik yang efesien, dikarenakan landasan gerak yang masih idealis serta konsistensi sikap mahasiswa yang jauh dari kepentingan politis.
Strategi Mendapatkan Simpati Massa
Seorang pakar komunikasi, James B Orrick, menyebutkan ada tiga strategi utama dalam meraih perhatian massa terkait opini yang akan dibangun. Strategi ini adalah kombinasi yang harmonis dari semua elemen komunikasi, mulai dari komunikator, media/saluran, penerima pesan, hingga pengaruh yang dirancang untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Ketiga strategi tersebut adalah :
  1. Never Argue. Jangan berbantah atau berdebat di muka umum bagi sesama anggota dari satu kelompok gerakan tertentu. Bagi seorang komunikator opini sangat penting untuk memperhatikan hal ini, karena suatu argumen atau perdebatan dapat membangkitkan emosi dan antagonistis. Terkadang dengan emosi dalam berdebat tujuan utama untuk mengiring opini massa menjadi tidak optimal. Oleh karena itu, “berkepala dingin” seperti yang dilakukan oleh para diplomat dan kelompok politikus profesional dapat diterapkan untuk mencapai tujuan.
  2. Present Facts. Kemukakan fakta-fakta. Ini dapat menghindari perdebatan dan juga lebih efektif daripada memberikan analisa abstrak mengenai opini yang ada. Apabila publik menerima fakta dan data yang disuguhkan, maka mereka akan menerima opini tersebut dengan objektif, dan bersedia digiring kepada opini yang sedang diangkat.
  3. Positive statement. Pernyataan yang positif. Cara ini lebih efektif daripada pernyataan-pernyataan yang bersifat negatif. Hendaknya dikemukakan hal-hal yang positid dan menyentuh kepentingan dan kebutuhan publik dan dikemukakan secara berulang-ulang, sehingga secara psikologis akan mengubah pendapat publik. Pernyataan positif ini tentu juga perlu di dukung oleh data dan fakta yang jelas. Hindari hal-hal yang bertentangan atau tidak relevan dengan opini yang disampaikan. Serta tidak menimbulkan celaan atau hujatan terhadap pribadi, sekali lagi gerakan mahasiswa membangun opini tentang “apa”, bukan “siapa”.
Pada akhirnya gerakan mahasiswa perlu berjuang lebih keras untuk meyakinkan massa tentang opini yang di angkat. Kebebasan pers telah memberikan tantangan tersendiri bagi gerakan mahasiswa, tentu sebagai sebuah gerakan yang dinamis, gerakan mahasiswa perlu menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan kondisi yang ada. Salah satu tantangan yang dapat lahir dari strategi adaptasi gerakan mahasiswa menyikapi kebebasan pers adalah fintah pencitraan, dimana gerakan mahasiswa bisa saja dinilai hanya mencitrakan diri sebagai kelompok yang pro-rakyat dan tak ubahnya seperti badut media yang gemar menyampaikan sikap di media massa. Oleh karena itu, perlu kiranya mahasiswa memantapkan landasan identitas geraknya agar tidak ada isu negatif yang mengiring gerakan mahasiswa di era kebebasan pers.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar