Kamis, 20 September 2012

ISU SARA BERPOTENSI TERHADAP TERJADI KONFLIK SOSIAL



Muhammad “Mbah” Supriyadi


Tumbangnya Orde Baru (Orba) pada tahun 1998 membuka cakrawala politik nasional. Di sisi lain, tumbangnya Orba memberikan wajah baru perpolitikan yang demokratis. Kekuasan yang militeristik sudah tergerus dengan kudeta-kudeta jalanan yang menghasilkan Reformasi 98. Dengan madzhab reformasi bangsa Indonesia seharus sudah dewasa dalam sirkulasi perpolitikan.[1]

Akan tetapi, cita-cita reformasi akhir-akhirnya mulai luntur dengan terjadi konflik-konflik politik di tingkat pedesaan-nasional. Konflik sosial yang terjadi belakangan ini dipengaruhi oleh maraknya isu-isu SARA (suku, agama, ras dan anatargolongan). Isu SARA memang sangat cepat menyulut kemarahan sosial. Oleh karena itu isu SARA menjadi pilihan para  pelaku politik untuk mengacaukan kondisi sosial agar dapat mengalihkan isu politik lainnya.  

Isu SARA dan Putus Asa Politik

Isu SARA menjadi pilihan karena putus asa terhadap tindakan politik yang sudah buntu. Kadang, isu SARA menjadi pilihan karena merasa kelompok atau organisasinya terpojok dengan politik lawan.

Konflik Syiah—Sunni yang terjadi di Sampang Madura berhasil mengalihkan isu Nasional antara lain; korupsi Hambalang yang menyeret beberapa politisi partai penguasa. Artinya isu SARA sangat “jitu” untuk mengalihkan isu sosial.

Di balik konflik SARA yang terjadi di Sampang Madura ada dugaan “kong kalikong” bisnis karena kawasan yang dibumihanguskan terdapat kandungan minyak mentah dengan kuantitas dan kualitas yang tidak sedikit.

Fitnah SARA menjadi pilihan karena dinilai tepat untuk mengosongkan kawasan konflik yang padat penduduk. Isu ini sangat jelas ada rekayasa strategis karena di Indonesia Syiah—Sunni tidak berkembang. Konflik Syiah—Sunni banyak terjadi didaratan Timur-Tengah. Karena sesuai dengan seratan sejarah Islam asal mula terjadi konflik Syiah—Sunni karena gejolak peralihan politik pasca meninggalnya Nabi Muhammad SAW. 

Meninggalnya Nabi Muhammad menimbulkan perpecahan di kubu sahabat. Sekelompok sahabat mengklaim bahwa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib (Syiah). Sebagian bersikukuh keras bahwa pengganti Nabi harus dipilih dengan musyawarah dan mufakat seluruh sahabat (demokrasi mulai pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW).

Mengapa itu Harus Terjadi

Sudah 14 tahun (1998-2012) Indonesia menyakini madzhab demokrasi yang menjujung tinggi kebersamaan dan keterbukaan. Informasi yang semakin canggih, seharusnya beriringingan dengan kecanggihan dan kedewasaan kehidupan berpolitik.

Arus globalisasi seharusnya menjadikan arus pemikiran yang lebih cerdas serta mengedepankan kebersamaan. Akan tetapi Indonesia masih kelihatan “kekanak-kanakan” dalam proses demokrasi. Ideologi yang mudah didoktrin dengan aktor-aktor politik hitam (black political) yang ingin memecah belah kebersamaan.

Apakah ini harus terjadi terus menerus. Mungkin, perlu restorasi arah ideologi dan pemikiran dalam bernegara agar tidak mudah tersulut isu-isu nasional yang berujung pada konflik sosial. Bangsa Indonesia harus semakin cerdas dan pintar dalam “menyaring” isu-isu nasional untuk menghindari perpecahan.




                                                                                                 
Penulis adalah mahasiswa
Pascasarjana UIN - Jakarta dengan konsentrasi Politik dan Agama
Peneliti di Lembaga Penelitian Concern - Jakarta


[1] Hermawan, Lawan: Jejak-jejak Jalana Di Bawah Jatuhnya Soeharto (Jakarta: Pensil 324, 2011), 78.

1 komentar: