Muhammad
“Mbah” Supriyadi
Tumbangnya Orde
Baru (Orba) pada tahun 1998 membuka cakrawala politik nasional. Di sisi lain, tumbangnya
Orba memberikan wajah baru perpolitikan yang demokratis. Kekuasan yang militeristik
sudah tergerus dengan kudeta-kudeta jalanan yang menghasilkan Reformasi 98.
Dengan madzhab reformasi bangsa Indonesia seharus sudah dewasa dalam sirkulasi
perpolitikan.[1]
Akan tetapi,
cita-cita reformasi akhir-akhirnya mulai luntur dengan terjadi konflik-konflik
politik di tingkat pedesaan-nasional. Konflik sosial yang terjadi belakangan
ini dipengaruhi oleh maraknya isu-isu SARA (suku, agama, ras dan
anatargolongan). Isu SARA memang sangat cepat menyulut kemarahan sosial. Oleh
karena itu isu SARA menjadi pilihan para pelaku politik untuk mengacaukan kondisi sosial
agar dapat mengalihkan isu politik lainnya.
Isu SARA dan Putus Asa
Politik
Isu SARA menjadi
pilihan karena putus asa terhadap tindakan politik yang sudah buntu. Kadang, isu
SARA menjadi pilihan karena merasa kelompok atau organisasinya terpojok dengan
politik lawan.
Konflik Syiah—Sunni
yang terjadi di Sampang Madura berhasil mengalihkan isu Nasional antara lain;
korupsi Hambalang yang menyeret beberapa politisi partai penguasa. Artinya isu
SARA sangat “jitu” untuk mengalihkan isu sosial.
Di balik konflik
SARA yang terjadi di Sampang Madura ada dugaan “kong kalikong” bisnis karena
kawasan yang dibumihanguskan terdapat kandungan minyak mentah dengan kuantitas
dan kualitas yang tidak sedikit.
Fitnah SARA menjadi
pilihan karena dinilai tepat untuk mengosongkan kawasan konflik yang padat
penduduk. Isu ini sangat jelas ada rekayasa strategis karena di Indonesia Syiah—Sunni
tidak berkembang. Konflik Syiah—Sunni banyak terjadi didaratan Timur-Tengah.
Karena sesuai dengan seratan sejarah Islam asal mula terjadi konflik
Syiah—Sunni karena gejolak peralihan politik pasca meninggalnya Nabi Muhammad
SAW.
Meninggalnya Nabi Muhammad menimbulkan perpecahan di kubu sahabat.
Sekelompok sahabat mengklaim bahwa yang berhak menggantikan kepemimpinan Nabi
Muhammad adalah Ali bin Abi Thalib (Syiah). Sebagian bersikukuh keras bahwa
pengganti Nabi harus dipilih dengan musyawarah dan mufakat seluruh sahabat
(demokrasi mulai pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW).
Mengapa itu Harus Terjadi
Sudah 14 tahun
(1998-2012) Indonesia menyakini madzhab demokrasi yang menjujung tinggi
kebersamaan dan keterbukaan. Informasi yang semakin canggih, seharusnya
beriringingan dengan kecanggihan dan kedewasaan kehidupan berpolitik.
Arus globalisasi
seharusnya menjadikan arus pemikiran yang lebih cerdas serta mengedepankan
kebersamaan. Akan tetapi Indonesia masih kelihatan “kekanak-kanakan” dalam
proses demokrasi. Ideologi yang mudah didoktrin dengan aktor-aktor politik
hitam (black political) yang ingin memecah belah kebersamaan.
Apakah ini harus
terjadi terus menerus. Mungkin, perlu restorasi arah ideologi dan pemikiran
dalam bernegara agar tidak mudah tersulut isu-isu nasional yang berujung pada
konflik sosial. Bangsa Indonesia harus semakin cerdas dan pintar dalam
“menyaring” isu-isu nasional untuk menghindari perpecahan.
Penulis adalah mahasiswa
Pascasarjana UIN - Jakarta dengan konsentrasi Politik dan Agama
Peneliti di Lembaga Penelitian Concern - Jakarta
[1] Hermawan, Lawan: Jejak-jejak Jalana
Di Bawah Jatuhnya Soeharto (Jakarta: Pensil 324, 2011), 78.
lakukan perubahan pemikiran dari kekerasan ke arah perdamaian
BalasHapus