Rabu, 26 September 2012

ISLAM DAN POLITIK: ANTARA AJARAN DAN KOSEP



Oleh
Muhammad Supriyadi
(Peneliti Agama dan Politik di Lembaga Penelitian Concern – Jakarta)

Marx telah menemukan suatu fakta sederhana, bahwa yang pertama dicari manusia adalah makan, minum, tempat bernaung dan pakaian. Jauh sebelum mereka mengejar apa itu agama, politik, ilmu pemgetahuan dan seni.[1]

Berdebatan agama (Islam) dan politik sudah lama terjadi dikalangan akademisi. Berdebatan ini semakain lama semakin “panas”tanpa menemukan “benang merah” yang mengkorelasikan antara agama dan politk. Akan tetapi, dua komponen kata ini memang sangat menawan untuk diberdebatkan dan didiskusikan karena isu-isunya mengikuti kondisi perkembangan masyarakat baik perkembangan dari ranah sosiologi maupun kultural (budaya).

Rezim Orba telah menekan umat Islam dalam pertarungan politik nasional. Oleh karena itu, banyak kelompok Islam pada masa Orba lebih banyak mengembangkan gerakan-gerakan relegius, misalnya jama’ah tahlil, ngaji dan agenda-agenda agama lainnya yang jauh dari “aroma” politik. Kemunduran rezim yang represif,  Orde Baru (Orba), memberi celah umat Islam untuk bangkit dan ikut mewarnai perpolitikan nasional. Hal ini tercermin dengan munculnya partai-parta yang berazaskan Islam pada pemilu 1999. Tokoh-tokoh Islam yang semula hanya berpengaruh dan bergerak dilingkungan pesantren, ikut hadir dalam pertarungan politik nasional. mulai itulah, perdebatan Islam—politik mulai terangkat lagi dalam perdebatan akademisi di tingkat nasional maupun internasional.
Sebagaian madzhab siyasah berpendapat bahwa masuknya Islam ke ruang politik merupakan tindakan yang salah. Dan sebagaian lainnya, menganggap bahwa Islam harus menjadi hujjah, politik karena di dalamnya banyak mengandung konsep-konsep bernegara (politik). Dari dua perdebatan fundamental Islam—politik memberi ilustrasi untuk memetakan posisi Islam—politik.
Islam masuk dalam ranah politik bukan menjadi ajaran. Artinya, Islam bukan menata hukum berpolitik seperti halnya Islam mengatur hukum dalam ibadah ilahiyah. Ajaran Islam yang mengkatagorikan sesuatu bisa menjadi wajib, sunnah, mubah, makruh dan wajib, tidak semestinya masuk ke ruang politik. Hukum-hukum tersebut digunakan sebagai konsep ajaran. Misalnya: orang yang tidak melakukan shalat tanpa ada halangan sesuatu maka berdosa (haram). Sedangkang hukum “haram” tidak bisa diterapkan saat pemilihan pemimpin yang non-Islam. Hal ini memberi gambaran bahwa Islam masuk dalam ranah politik tidak bisa menggunakan literatur ajaran, akan tetapi lebih pendekatan pada konsep.
Oleh karena itu, diperlukan pemahan yang sangat terperinci dimana Islam menjadi ajaran dan dimana Islam menjadi konsep. Salah satu, sebab terjadi konflik agama—politik karena dua komponen antara agama sebagai konsep dan ajaran saling tumpang tindih.
Islam—politik merupakan kajian konsep. Islam telah mengandung konsep-konsep politik yang sesuai dengan apa yang dicita-citakan masyarakat madani (civil society). Islam melarang pada penindasan, diskriminasi kaum minoritas, korupsi dan hal-hal lain yang merugikan kehidupan bermasyarakat.
Dalam kajian  Islam—politik kita posisikan Islam sebagai konsep, kata-kata “halal” dan ”haram” tidak boleh terungkap. Halal—haram bukan merupakan kajian “konsep” tapi masuk dalam ranah “ajaran”. Misalnya: orang yang memilih pemimpin non Islam tidak boleh disebut dosa (haram) dengan pertimbangan beda agama. Akan tetapi dalam ranah politik, Islam menjadi konsep, bagaimana prilaku pemimpin tersebut tercermin pada konsep islami.
Kasus-kasus terakhir yang terjadi pada Pilkada DKI Jakarta 2012, banyak pemahaman Islam—politik disalahgunakan atau memang tidak paham penggunaannya. Munculah isu-isu pendiskriminasian SARA yang berujung pada konflik internal di kubu kaum muslimin. 
Closing statement—Islam mengandung konsep-konsep politik yang luas tanpa ada beban “syarat sah”bagi ummat yang mengamailkannya. Islam melarang menyakiti antar ummat Tuhan, diskriminasi kaun minoritas atau mayoritas, korupsi, kriminal dan tindakan-tindakan lain yang tidak manusiawi. Konsep tersebut boleh digunakan pemimpin Islam maupun non islam sebagai stockholder pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan yang bisa dirasakan oleh semua rakyat. Ibnu Taimiyah berkata: pemimpin non Islam yang bijaksana itu lebih baik dari pada pemimpin Islam yang korup (tidak bijaksana).

Bahan Bacaan
Jurdi, Syarifuddin. Pemikiran Politik Islam Indonesia: Pertautan Negara, Khiilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008.
Pals, Daniel, L. Seven Theories of Releigion. Yogyakarta: Ircisod, 2011.
Khudori, Darwis (ed). Maraknya Gerakan Politik Berbasis Agama: Peluaang ataukah Ancaman untuk Perdamaian, Keamanan, dan Perkembangan Bangsa-Bangsa? Yogyakarta: USD, 2009.
Hidayat, Komaruddin. Agama Punya Seribu Nyawa. Jakarta: Nauro Books, 2012.


[1] Friadrich Engels, “Speech of the Grveside of Karl Marx, ” dalam Karl Marx and Friedrich Engles: selected Work, tr. Dan editor, Marx-Engels-Lenin Isntitute, 2 jilid (Moskow: 1951), 153

Tidak ada komentar:

Posting Komentar