Kamis, 22 November 2012

Haji Chak Chuk: Kisah Rasional Perjalanan Cak Iful dalam Memaknai Haji



Sebagian orang menganggap kata Chak-Chuk sebagai kata yang melanggar norma sosial. Di Surabaya kata Chak Chuk menjadi sapaan keakraban persaudaran. Kalangan tokoh lunguistik sepakat, tidak ada bahasa yang melanggar norma sosial, kecuali kesepakatan sosial yang tidak menyepakatai keberadaan bahasa tersebut.
 Tulisan ini merupakan diskusi dengan Cak Iful yang diilhami dari kisah nyata saat menunaikan ibadah haji. Judul tulisan “Haji Cak Cuk”, hanya untuk meningkatkan “libido” pembaca, karena kisah tersebut sangat menarik sebagai renungan dalam memaknai ibadah haji, yang sampai sekarang masih “semu”.
Sebagian orang memaknai ibadah haji dengan 1001 makna. Bahkan ada orang yang berangkat haji tidak menemukan dari ibadah yang dikerjakaan dalam hajinya. Ada yang memaknai haji dengan pendekatan sirah (sejarah) yang diberikan kiai saat ceramah atau pengajian. Saya katakan aneh, Cak Iful memaknai haji dengan analisis kultural yang dikuatkan dengan nilai-nilai yang terimplementasi dari setiap gerak, ucap dan renungan dalam rukun-rukun haji.
Mindset sebagian orang Indonesia yang belum diberi kesempatan untuk menunaikan ibadah haji, membayangkan bahwa Makkah dan Madinah tempat yang bersih dari segala tingkah—polah syaitan manusia. Tapi sebaliknya, dengan warisan budaya jahiliyahnya yang sangat kental, banyak penipuan yang berkedok agama saat musim haji. Misalnya; pungli-pungli jasa keamanan mencium Hajar Aswad, dan lain sebagainya.
Ir. Saiful Peristiwanto (Cak Iful)
Cak Iful dalam hajinya banyak menemukan catatan fakta yang bertentang dengan realita cerita saat kita mendengar cerita orang yang baru datang dari Makkah atau Madinah. Pertama, kita sering mendengar, saat adzan dikumandangkan, tujjar/pedagang sekeliling kawasan Ka’bah berlarian meninggalkan dagangannya untuk melakukan sholat. Bagi kita yang tidak mengerti, perbuatan itu merupakan langkah kongkrit penghambaan kepada Allah tanpa memikirkan dunia (barang dagangannya). Kenyataannya tidak seperti itu, larinya pedagang yang meninggal dagannya untuk melaksanakan sholat merupakan tuntutan kerajaan, sebagai tercantum dalam undang-undang, dengan sangsi kurungan Tiga bulan bagi yang mengingkarinya. Dari realita tersebut dapat ditarik “benang merah” bahwa kadar keataatan penghambaan dengan sikap “nyata” tidak lebih baik dengan muslim Indonesia.
Kedua, banyak jama’ah haji yang bercerita saat datang ditanah suci, ada sebagian jamah yang tidak diberi kesempatan untuk melihat Ka’bah. Ka’bah menurut sebagain umat Muslim sebagai “punjer” penghambaan. Mungkin karena, amal perbuatan waktu di daerah asalnya yang jauh dari perintah Allah. Cak Iful mempunyai pandangan lain untuk menyikapi opini-opini tentang sebagaian jamaah haji yang tidak mampu melihat ka’bah. Dengan kadar panas matahari dan rendahnya kelembaban udara di kawasan ka’bah mengakibatkan dehedrasi daya tubuh yang mengakibatkan pengaburan pandangan. Secara rasional, Allah tidak akan menyulitkan hambanya yang berusaha bertobat.
Ketiga, kiai gadungan. Istilah kiai gadungan sudah diungkapkan Al Gazali dalam kitabnya bidayatul hidayah dengan sebutan ulama su’. dalam ibdah haji, Kementerian Agama RI, telah menyewa tenaga ahli dalam bidang haji, yang pasti seorang kiai, dengan gaji mencapai 50.000.000 sebagai pembimbing jamaah haji saat menunaikan rukun-rukun haji. Akan tetapi, langkah ini banyak dipolitisasi oleh para kiai yang ditunjuk, karena di Makkah sudah disediakan pembimbing oleh KBRI Makkah. Artinya, fungsi pembimbing usulan Kemenag hanya memakan gaji buta.
Disamping catatan-catatan yang terfokus pada amalan-amalan haji, Cak Iful dalam perjalannya menunaikan haji yang pertama, juga mempunyai catatan tentang pelayanan Kemenag yang jauh dengan kata “normal”. Setiap kegaiatan, banyak terdapat pungli-pungli yang memanfaatkan kondisi untuk menarik keuntungan di luar peraturan.
Dalam pendafatran haji, dana pertama yang harus disetorkan kepada pihak bank minimal 25.000.000 dengan masa tunggu sekitar Tigabelas tahun. Rasio membuktikan, kalau uang 25 juta di bank selama 13 tahun, berapa bunga yang dihasilkan dan kemana bunga tersebut? Hanya oknum-oknum yang berwenang, yang memanfaatkan bunga tersebut dan sampai sekarang keberadaan bunga dari uang pendafataran masih “semu”
Setiap jama’ah haji, yang tercatat Kemenag akan diberikan sertifikat kehajiaanya dari pemerintah sebagai legalitas ibadah haji. Dalam penerimaan sertifikat ini, juga terdapat pungli-pungli negara, untuk menarik uang sebagai ganti administrasi sertifikat.
Makanan busuk, juga menjadi problem sebagai potret lemahnya manajemen ibadah haji. Kasus ini sering terjadi dipemondokan-pemondokan jama’ah, dengan alasan busuknya makanan karena lamanya jamaah haji menuju tempat prasmanan. Cak Iful menemukan fakta, bahwa busuknya makanan bukan masalah waktu. Busuknya makanan karena makanan yang disediakan tidak sesuai dengan standarisasi Kemenag. Juga ditemukan dalam penyediaan makanan terdapat rente-rente pungli Kemenag dengan disupcontkan pada cattering Makkah dengan harga yang sudah disunat. Akibatnya, makanan yang diterima jamaah haji tidak memenuhi standar kesehatan dan banyak jamaah yang terkena sakit pencernaan akibat mengkonsumsi dari makanan yang tidak layak dikonsumsi.
Closing statement—marilah kita memaknai ibadah haji sebagai ibadah fisik untuk menapak penghambaan secara riil sebagai dasar untuk mengimplementasikan ajaran-ajaran Allah dalam kehidupan bermasyarakat. Jangan memaknai haji sebagai  anugrah dan kenikamatan yang akhirnya membawa keterlenaan kita untuk menghamba kepada Allah, dan hanya menikmati keindahan kota Makkah dan Madinah sebagai bahan bicara saat pulang ke kampung halaman. Semoga Cak Iful digolonggkan haji rasional sebagai spirit untuk menemukan makna haji mabrur. Nantikan kisah-kisah rasional perjalanan haji Cak Iful, dengan motto “Spirit Indonesia” yang akan dibukukan sebagai kritik yang membangun bagi penyelenggara haji untuk memperbaiki sistem dan manajemen haji yang lebih baik, dan bagi jamaah haji, semoga dapat menjadi hujjah serta pengingat makna setiap langkah haji menurut rasional sehat. Semangat cak Iful tulisan anda ditunggu banyak ummat…!

Siapa Cak Iful..?
Cak Iful, bagian dari inspirasi lahkahku. Cak Iful dikalangan pergerakan 1998 dikenal sebagai tokoh penggerak ujung tumbak wilayah Jawa Timur. Saya banyak belajar pergerakan dengan beliau, saat bersama-sama aktif memperjuangkan keadilan Cagub Cawagub independen dalam Pilgub Jatim 2008 dalam satu wadah Republik Damai. Gagasan-gagasan visioner sering muncul seketika dengan dibarengi balutan rokok dan kopi hitam sambil menggerakan master-master catur, merupakan ciri khas Cak Iful. Sekarang beliau lagi bergelut dengan irama kehidupan untuk menapak penghambaan yang lebih baik dan berarti.


Minyak. 23 November 2012
Muhammad “Mbah” Supriyadi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar